Dan Ini 'mondok' Cara Gue
Kurang lebih 9 tahun yang lalu. Sudah terlalu usang memang. Berdebu pula Hahaha.. Kira-kira saat itu aku masih bau kencur. Anak baru gede. Anak jebolan Sekolah Dasar. Yaa begitulah orang-orang mengatakannya. Saat itu, aku direkomendasikan oleh ayahku untuk 'mondok'. Di waktu yang sudah lama, ayahku hidup dan bergaul dengan para santri. Rumah kedua orang tua ayahku dikelilingi dengan pondok pesantren. Desa Ciwaringin di salah satu Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Desa ini terkenal dengan bangunan pesantren yang seakan 'menjamur' untuk menciptakan lulusan santri berakhlaqul karimah. Beliau memang tidak 'mondok' dan beliau pun sadar ilmu agama Islam yang dimilikinya tidak terlalu tinggi. Tak pelak beliau menginginkan salah satu anaknya menjadi santri. Memiliki 'bekal' ilmu agama yang lebih tinggi untuk menyongsong masa depan yang menurutnya cukup 'mengerikan'.
Bukan aku tidak ingin menjadi anak yang memiliki ilmu agama lebih tinggi. Namun, pandanganku saat itu 'mondok' bukanlah hal yang aku suka. Melirik pun serasa tidak ingin. Bahkan terlintas dipikiranku pun, tidak. Ketika bersilaturahmi ke rumah nenek, jejeran bangunan pondok seakan bangunan biasa bagiku. Tak ada chemistry atau daya tarik magnet yang mengalir. Mungkin karena saat itu aku masih kecil, aku berpendapat bahwa 'mondok' adalah hal yang nggak asik. Harus jauh dari orang tua. Tak ada kebebasan waktu. Semuanya diatur dan terikat. Dan akhirnya aku pun berusaha untuk masuk Sekolah Menengah Pertama favorit di Kota Cirebon. Allah SWT pun melancarkan rencanaku. Alih-alih telah diterima di 'sekolah favorit', aku menolak untuk masuk pondok pesantren. Menurutku sekolahku lebih bergengsi. Lantas, untuk apa aku 'mondok' toh di sekolah pun menyodorkan pelajaran agama islam. Astagfirulloh.. Bukan karena ayahku takut dengan anaknya, namun beliau hanya tak ingin memaksa kehendak pada anak perempuan satu-satunya. Hingga SMA pun aku bersekolah dengan notabene-nya hanya menerapkan ilmu agama yang standar. Sebagimana mestinya sekolah umum, bukan sekolah swasta yang berbasis agama islam.
Dan kini setelah aku berumur 21 tahun. Dahaga akan ilmu Allah SWT semakin menggerogotiku. Tak mungkin aku harus mengabdikan diri pada pondok pesantren dengan umurku yang sudah menginjak kepala dua. Terlebih aku sedang menekuni ilmu sainsku di salah satu Universitas Negeri di Jawa Tengah. Dehidrasi ini datang ketika aku berada di detik-detik aku akan mengabdikan ilmuku di masyarakat. Dan titik cahaya pun datang dengan syahdunya. Tak jauh-jauh dari hobby-ku. Aku mendapatkan setetes embun yang mampu membasahi dahagaku. Awalnya aku memang tidak tertarik dengan karya-karya fenomenal kang abik. Yup, siapa sih yang tidak mengenal beliau. Salah satu novelis nomer wahid di negeri ini, Habiburahman El Shirazy *standing applause*. Dahulu, karya-karya beliau baik dalam bentuk film ataupun novel, tak pernah aku meliriknya. Aku lebih tertarik dengan hal-hal berbau negerinya boyband dan girlband. Korea Selatan Hahahah. Rasanya aku mendopping diriku sendiri dengan sejuta cerita dari negeri itu.
Namun, berawal dari aktivitasku berselancar di dunia maya. Aku iseng menonton salah satu film karya kang abik, sebutan akrab beliau. Tak hanya air mata yang mampu mewakilkanku untuk berkomentar. Hatiku dan mulutku mampu sinkron untuk mengatakan, Subhanalloh. Heiiii raniiiii, kemana saja kamu selama ini, helloooo, begitulah benakku berteriak. Mungkin, selama ini aku bersembunyi di balik tempurung, hingga aku tak sadar keberadaan karya-karya seperti itu. Memang terdapat unsur drama di dalam karya beliau. Namun drama itu terbungkus rapi dalam balutan nuansa islami. Diperindah dengan pesan-pesan moral yang sarat akan makna kehidupan, namun tidak menggurui. Dan Itulah yang aku suka. Terlebih dicetak dalam bentuk novel dan film. Dua icon yang mungkin tak bisa lepas dari sosok aku, hehehe. Sambil menyelam minum air, seperti itu kiasan yang pantas untukku sekarang.
Di satu sisi aku menikmati sebuah seni dan indahnya sebuah sastra. Di sisi lain aku mendapatkan beberapa ilmu agamaku, islam. Yaa.. hingga saat ini aku baru menghatamkan 1 novel beliau, Cinta Suci Zahrana. Dan melahap film-film garapan beliau seperti Ayat-ayat Cinta, Dalam Mihrab Cinta, Ketika Cinta Bertasbih part 1 dan 2. Alhamdulilah..... Walau tak segunung, namun setidaknya aku mendapatkan yang selama ini aku dambakan. Rasanya tak sabar aku menunggu kaya-karya beliau lainnya. Insyaallah aku akan 'mondok' pada karya-karya beliau, atau mungkin karya-karya cendekiawan lainnya.
Namun, berawal dari aktivitasku berselancar di dunia maya. Aku iseng menonton salah satu film karya kang abik, sebutan akrab beliau. Tak hanya air mata yang mampu mewakilkanku untuk berkomentar. Hatiku dan mulutku mampu sinkron untuk mengatakan, Subhanalloh. Heiiii raniiiii, kemana saja kamu selama ini, helloooo, begitulah benakku berteriak. Mungkin, selama ini aku bersembunyi di balik tempurung, hingga aku tak sadar keberadaan karya-karya seperti itu. Memang terdapat unsur drama di dalam karya beliau. Namun drama itu terbungkus rapi dalam balutan nuansa islami. Diperindah dengan pesan-pesan moral yang sarat akan makna kehidupan, namun tidak menggurui. Dan Itulah yang aku suka. Terlebih dicetak dalam bentuk novel dan film. Dua icon yang mungkin tak bisa lepas dari sosok aku, hehehe. Sambil menyelam minum air, seperti itu kiasan yang pantas untukku sekarang.
Di satu sisi aku menikmati sebuah seni dan indahnya sebuah sastra. Di sisi lain aku mendapatkan beberapa ilmu agamaku, islam. Yaa.. hingga saat ini aku baru menghatamkan 1 novel beliau, Cinta Suci Zahrana. Dan melahap film-film garapan beliau seperti Ayat-ayat Cinta, Dalam Mihrab Cinta, Ketika Cinta Bertasbih part 1 dan 2. Alhamdulilah..... Walau tak segunung, namun setidaknya aku mendapatkan yang selama ini aku dambakan. Rasanya tak sabar aku menunggu kaya-karya beliau lainnya. Insyaallah aku akan 'mondok' pada karya-karya beliau, atau mungkin karya-karya cendekiawan lainnya.
Source: www.lokerseni.web.id |
Komentar
Posting Komentar