Surat Dilematisme: Kala Gayung Tak Bersambut

Dear, Gayung.

Dengar. Lihat. Dan rasakan.
Aku ada disini.

Disini, dengan bukan hanya aku saja yang berdiri. Di sekelilingku ada dia dan mereka.

Semuanya mengerucut dalam satu tujuan yang sama. Termasuk aku tanpa ada sebesit kemunafikan.

Mungkin aku terlihat serupa dengan di sekelilingku. Ketika sela-sela kosong dalam sebuah penantian panjang, sekuat tenaga ku rajut asa untuk berbeda dengan dia dan mereka. Bukan bermaksud membusungkan dada. Ini semata-mata aku hanya ingin ada suara bergemericik yang membunuh keheningan.

Apakah kau tau, kian lama keheningan diam-diam membunuhku. Benar adanya, tak ingin ku hanya diam atau mengalir tanpa suatu arah yang tak pasti, dengan waktu yang tak ku tau ujungnya. Ingat, aku dan mereka berada dalam ruang yang sama, ruang yang sesekali akan menghilangkanku ketika kau tak datang.

Jangankan wujud kasat mata mu, ketika siluet mu merabaku langit serasa sejuk kupeluk. Terdengar suara yang tak ku tau asalnya mencuat di atas permukaan, "Akhirnya kau datang". Namun, ketika siluet itu menikung dan membelakangiku. Tiada guna untuk menjadi lebih jernih diantara mereka, bahkan di antara kumpulan kristal cantik sekalipun.

Kala matahari memelukku pun tak sedikitpun terlintas untuk lepas dari jeratan teriknya. Rapuh. Dan hilang sudah kekuatanku tuk menggenggammu. Ketika pergi melambaikan perpisahan, dan saat itu pula datang kan menyapa. Selebihnya diam dan menanti, menanti serbuan rintik nyawa yang jatuh dari langit. Kelak mungkin menjadi suntikan nyawa tambahan atau bahkan kekuatan. Mereka datang seperti itu karena aku, KARENA LANGIT TAK PERNAH BOHONG.


Aku pun akan tetap bergemiricik di atas puing kekuatan ini. Seperti mereka yang kau sambut dengan lembutnya. Hanya sebuah sudut yang entah kau bisa rasakan atau tidak, yang akan mendengar gemericikku. Aku tau ini bukan bergemericik yang kuharapkan, begitu juga kau. Karena aku bukanlah yang kau harapkan.

Mengalir dan mengalir. Namun aku mengalir bukan sebagai AIR BIASA seperti sedia kala. Kini aku mewakilkan ekspresi yang kadang bersembunyi di balik sandiwara. Aku datang seperti ini karena mu, KARENA HATI TAK PERNAH BOHONG.

Ketika kau bertanya-tanya seberapa besarkah aku ----- (entah harus kusebut apa) padamu, lihatlah aku di balik jendela yang memandang langit kelabu. Hitunglah aku yang jatuh dengan derasnya.

Ketika kau mengabaikan semua ini, lihatlah aku di jutaan sudut pasang mata yang memancarkan sinar tak berdaya. Dan kau tak perlu menghitung nya, itu akan menyulitkanmu kelak.




Tertanda,
- SETETES AIR-








Komentar

  1. tak hanya hati, merpati juga gak pernah bohong lho...

    *eh

    BalasHapus
  2. haahhah masa?? apa karena merpati itu lambang kesucian???

    BalasHapus
  3. karena merpatik gak bisa ngomong #apabanget

    salam kenal juga ya hhe
    gue tersandung (tersanjung) nih dibilang blog nya keren, tp orangnya keren juga lohh.. #pencitraan

    BalasHapus
  4. yahh klo gitu sama kasusnya ma hati dong kan dy ga bs ngomong jugaa.. :)

    aduuh gue ga bs ngebayangin loe bakalan terbang klo gue blang loe keren jg sob hehehh pisss :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Synapta maculata : Spesies Teripang Jumbo

Jeruk Kingkit (Triphasia trifolia)

Ini Nyata: Bukan Sebuah Sci-Fi Film