D.P.O. untuk Bangsaku
Jepang juga negara, sama halnya dengan negara lainnya di dunia. Sekuat apapun pertahanan dan idealisme yang mereka agungkan, Jepang tetaplah sebuah negara. Kedigdayaan Jepang pernah diuji pada tahun 1945. Sang penguasa wilayah Asia ini menelan sebuah kekalahan dari rival perang dunia ke-II nya, Amerika Serikat. Jepang pun tak bisa berkelit dari porak poranda. Tak sedikit petinggi negara sibuk menutup rasa malu kekalahan mereka dengan bunuh diri. Lain halnya dengan Kaisar Jepang saat itu, kaisar Hirohito. Yang terpikir oleh negarawan ini hanyalah satu, Berapakah guru yang masih kita miliki?
Guru, dosen, staff pendidik, staff pengajar atau apalah itu namanya. Tak sedikit khalayak masyarakat menjadikan itu sebagai profesi, pekerjaan bahkan cita-cita. Sejatinya, itu tergantung dari sudut pandang setiap orang untuk memberikan penilaian. Lalu, bagaimana dengan literatur dan internet. Apakah mereka juga bisa disebut guru? Atau hanya sekedar informan? Keduanya memang membukakan mata kita terhadap dunia. Mengubah mind set kita terhadap sesuatu yang tidak tau menjadi lebih tau.
Source Picture: http://www.networkedblogs.com |
Dan apa bedanya mereka (read: literatur dan internet) dengan seorang pendidik yang hanya 'menyuapi' muridnya dengan segudang pengetahuan dan teori?? Tanpa disadari mungkin kehadiran pendidik akan di nomer dua kan oleh murid. Karena mereka akan merasa mampu menjelma menjadi seseorang yang autodidak. Tentu ini tidak bisa dibiarkan menjadi sebuah kebiasaan. Hakikatnya, seorang pendidik adalah sosok yang mampu memberikan suri tauladan yang baik pada muridnya. Oleh karena itu, sudah semestinya seorang pendidik memiliki kans tersendiri di mata muridnya. Mampu dibedakan dengan informan lain. Karena aku yakin, seorang pendidik sangat jauh lebih baik daripada sumber informasi ataupun informan.
Memang, ijazah dan title merupakan follow up dari dunia pendidikan. Namun, mencetak anak bangsa yang berkarakter dan bermoral adalah follow up yang dibutuhkan bangsa ini. Karakter seseorang memang tak bisa ditentukan atau dipaksakan oleh siapapun. Namun, setidaknya sang pendidik mampu mendampingi dan meluruskan anak didiknya menuju arah yang diharapkan bangsa ini. Memiliki karakter yang mampu membawa diri dengan segala 'bekal' yang mereka rengkuh ketika mereka mengeyam bangku pendidikan.
Sedikit flash back 68 tahun yang lalu, ketika Kaisar Hirohito hanya memikirkan seorang guru untuk bangsanya. Tentu bukan sosok guru yang hanya mampu 'menyuapi' teori dan pengetahun yang dicari saat itu. Tetapi, sosok guru yang mampu membimbing karakter dan moral anak bangsa. Terlebih moral mereka berada dalam keterpurukan yang teramat dahsyat. Menurutku, kondisi bangsa ini dengan bangsa Jepang tempo dulu tidaklah begitu berbeda. Secara fisik berlainan, namun secara non fisik kita serupa. Kita sedang berada dalam zona krisis moral dan karakter. Dalam hal ini bukan maksud aku paling benar, apalagi paling sempurna. Sekali lagi, bukan.
Bangsa ini butuh anak bangsa yang tak hanya pandai menghafal, menghitung, pemburu title, penikmat nilai sempurna dan IPK cumlaude. Aku pernah terhenyak mendengar dialog dari salah satu film layar lebar yang kurang lebihnya seperti ini, "Di luar sana banyak sarjana nganggur, malah ada master nyaris jadi gelandangan karena nggak bisa bayar kontrakan". Tak hanya itu. Di luar sana, ada pula anak bangsa yang menyalahgunakan ilmu mereka untuk hal yang tak pantas dilakukan. Antara ilmu, moral dan karakter seakan berjalan masing-masing, saling bertolak belakang.
Sontak, batinku teriris perih mengetahui ini semua. Inikah yang dibutuhkan bangsa ini. Tentu bukan. Ketika pendidikan seakan hanya mencetak 'robot-robot ber-title'. Dalam hal ini, aku bukan bermaksud menyudutkan ataupun memvonis siapapun. Aku hanya meluapkan apa yang aku rasa dan aku pikirkan.
Dan hal ini pulalah yang melatarbelakangiku untuk tak mudah mengucapkan, Setelah aku lulus, aku ingin menjadi guru ataupun dosen. Karena aku pun merasa belum memiliki kans yang mampu membimbing anak bangsa. Aku tak ingin itu hanya dijadikan sebagai profesi. Di sudut profesi itu terdapat amanat yang begitu besar. Tak mudah bagiku untuk manjatuhkan pilihanku menjadi sosok itu. Mungkin diluar sana, akan ada seseorang yang jauh lebih pantas dan mampu menjadi sosok itu. Amin.
Memang, ijazah dan title merupakan follow up dari dunia pendidikan. Namun, mencetak anak bangsa yang berkarakter dan bermoral adalah follow up yang dibutuhkan bangsa ini. Karakter seseorang memang tak bisa ditentukan atau dipaksakan oleh siapapun. Namun, setidaknya sang pendidik mampu mendampingi dan meluruskan anak didiknya menuju arah yang diharapkan bangsa ini. Memiliki karakter yang mampu membawa diri dengan segala 'bekal' yang mereka rengkuh ketika mereka mengeyam bangku pendidikan.
Sedikit flash back 68 tahun yang lalu, ketika Kaisar Hirohito hanya memikirkan seorang guru untuk bangsanya. Tentu bukan sosok guru yang hanya mampu 'menyuapi' teori dan pengetahun yang dicari saat itu. Tetapi, sosok guru yang mampu membimbing karakter dan moral anak bangsa. Terlebih moral mereka berada dalam keterpurukan yang teramat dahsyat. Menurutku, kondisi bangsa ini dengan bangsa Jepang tempo dulu tidaklah begitu berbeda. Secara fisik berlainan, namun secara non fisik kita serupa. Kita sedang berada dalam zona krisis moral dan karakter. Dalam hal ini bukan maksud aku paling benar, apalagi paling sempurna. Sekali lagi, bukan.
Bangsa ini butuh anak bangsa yang tak hanya pandai menghafal, menghitung, pemburu title, penikmat nilai sempurna dan IPK cumlaude. Aku pernah terhenyak mendengar dialog dari salah satu film layar lebar yang kurang lebihnya seperti ini, "Di luar sana banyak sarjana nganggur, malah ada master nyaris jadi gelandangan karena nggak bisa bayar kontrakan". Tak hanya itu. Di luar sana, ada pula anak bangsa yang menyalahgunakan ilmu mereka untuk hal yang tak pantas dilakukan. Antara ilmu, moral dan karakter seakan berjalan masing-masing, saling bertolak belakang.
Sontak, batinku teriris perih mengetahui ini semua. Inikah yang dibutuhkan bangsa ini. Tentu bukan. Ketika pendidikan seakan hanya mencetak 'robot-robot ber-title'. Dalam hal ini, aku bukan bermaksud menyudutkan ataupun memvonis siapapun. Aku hanya meluapkan apa yang aku rasa dan aku pikirkan.
Dan hal ini pulalah yang melatarbelakangiku untuk tak mudah mengucapkan, Setelah aku lulus, aku ingin menjadi guru ataupun dosen. Karena aku pun merasa belum memiliki kans yang mampu membimbing anak bangsa. Aku tak ingin itu hanya dijadikan sebagai profesi. Di sudut profesi itu terdapat amanat yang begitu besar. Tak mudah bagiku untuk manjatuhkan pilihanku menjadi sosok itu. Mungkin diluar sana, akan ada seseorang yang jauh lebih pantas dan mampu menjadi sosok itu. Amin.
guru = digugu lan ditiru :D
BalasHapusahahha, aya2 wae km mah...
BalasHapusehh digugu bhasa jawa jg yaa nang?? ko sama ky sunda... :D
harus aya2 wae dongg hehe
BalasHapusiya bahasa jawa ran,,wah..berarti sunda jawa selalu bersaudara n bersahaja haha :D
halaahhh,, km tuh ya nang,, hahaa..
BalasHapusiaahh dong selaluuu.., kan sunda ma jawa tetanggaan... :D